ilustrasi suku dayak by: traveldetik.com |
Gerhana matahari bakal melintasi wilayah Indonesia 9 Maret 2016 mendatang. Ragam budaya tradisional dan adat istiadat, masih dipertahankan masyarakat adat di Indonesia menyambut peristiwa alam itu. Seperti yang dilakukan dayak adat Bahau di Kalimantan Timur, yang bermukim di kampung, dimulai dari Long Iram di kabupaten Kutai Barat hingga di ujung kabupaten Mahakam Ulu.
Gerhana, dalam cerita dan bahasa masyarakat adat dayak Bahau disebut Belhuu' Kap Alah. Untuk gerhana matahari, masyarakat setempat menyebutnya Belhuu' Kap Alah Rau. Sedangkan gerhana bulan, dalam bahasa dayak Bahau menyebutnya Belhuu' Kap Alah Bulaan.
Dalam kepercayaan dayak Bahau, gerhana terjadi karena pada waktu-waktu tertentu, Buaya Langit, yang disebut dayak Bahau di Kutai Barat disebut Baya' Langit, sedang bertapa menambah kesaktiannya di jalan lintasan bulan atau jalan lintasan matahari.
"Untuk mematangkan kesaktiannya, maka pada waktu bulan atau matahari melintas, sang buaya mengangakan moncongnya, dan menangkap bulan atau matahari lewat dan berusaha menelannya," kata Ketua Lembaga Adat Dayak Bahau kota Samarinda, G Simon Devung, dalam penjelasannya kepada merdeka.com, Sabtu (5/3).
Menurut Devung, apabila Baya' Langit berhasil memasukkan bulan atau matahari ke dalam mulutnya secara penuh, maka terjadilah gerhana bulan total yang disebut Belhuu' Kap Alah Bulaan atau gerhana matahari total yang disebut Belhuu' Kap Huput Alah Rau.
"Sewaktu berada dalam moncong Baya' Langit, tentu saja bulan atau matahari, tidak diam saja. Tapi juga berusaha keras untuk keluar dan beradu kekuatan dengan sang buaya," ujar Devung.
Tentu, saat peristiwa gerhana, masyarakat adat dayak Bahau di kampung-kampung waktu dahulu, menabuhkan bunyi-bunyian. Kaum pria, membunyikan kentongan yang diberi nama Matuung Took. Sedangkan kaum wanita, menumbuk lesung kosong dengan irama tumbukan pejalau. Tujuannya, untuk mengusik Baya' Langit dan membuatnya lengah.
"Sehingga bulan atau matahari, bisa segera keluar dari dalam mulut Baya' Langit. Selain itu, para pawang dan sesepuh kampung, mengumandangkan doa mantera, memanggil bulan atau matahari keluar," terang Devung.
"Pawang dan sesepuh kampung itu mengatakan, Mepoh-mepoh No Ika' Bulaan atau Mepoh-mepoh No Ika' Rau. Artinya, keluar-keluarlah engkau bulan, atau keluar-keluarlah engkau matahari. Tabuhan bunyi-bunyian dan lantunan doa mantera itu, dilakukan sampai sinar matahari atau bulan, keluar sampai sempurna," jelas Devung.
Dalam kepercayaan tetua adat dahulu, sinar bulan atau cahaya matahari yang baru muncul beberapa saat setelah terjadi gerhana, diyakini mengandung kekuatan, atau tenaga yang lebih murni, lebih kuat dari biasanya.
Oleh karena itu, segala macam senjata, jimat dan obat-obatan biasanya dibuka dan diembunkan beberapa saat di pelataran rumah, di bawah sinar bulan, atau dijemur beberapa waktu di bawah sinar matahari, setelah gerhana.
"Itu dilakukan untuk menambah kekuatan, keampuhan, dan khasiatnya. Kaum pria yang ingin menambah keperkasaan, beramai-ramai mandi polos di air sungai yang mengalir," ungkap Devung.
Di masa sekarang, adat budaya, kepercayaan dan juga tradisi masyarakat adat Dayak Bahau menjelang Gerhana, tidak hilang dimakan zaman, meski ada beberapa ritual, yang tidak lagi dilakukan bagi masyarakat Dayak Bahau yang tinggal di kampung-kampung di kabupaten Kutai Barat hingga kabupaten Mahakam Ulu.
"Kalau sekarang, tabuh bunyi-bunyian sudah tidak ada. Sekarang, yang masih ada dilakukan masyarakat kami adalah menjemur jimat atau mengembunkannya, juga obat-obatan alami dan senjata. Juga mandi polos kaum pria di sungai-sungai yang mengalir di kampung," kata Louis Devung, putra Simon Devung menambahkan. (merdeka)
0 Response to "Ritual adat Dayak saat Gerhana "
Post a Comment